Bangkal Sebagai Titik Balik: Catatan Antroposen Singkat
Bangkal Sebagai Titik Balik: Catatan Antroposen Singkat
Oleh Muhammad Yasir
Ada beberapa Sapundu dan Sandung yang sarat dengan warna
dominan serta sarat dengan ornamen-ornamen simbolik. Kedua
artefak penting dalam sejarah kebudayaan itu, berdiri tegak di sebelah
Betang Lampang Tarung, Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Provinsi
Kalimantan Tengah. Semuanya menyiratkan rahasia tragedi sejarah-
masa depan alam dan manusia yang sejak lama memiliki relasi yang
kuat, baik dalam ruang nyata maupun ritual.
Orang Bangkal sebagai representasi orang adat, bukanlah orang
Palangka Raya—orang-orang yang dihasilkan melalui proses urbanisasi
dan sentralisasi ekonomi. Orang-orang yang mengenal Bangkal, baik
sebagai sebuah kampung tertua maupun “native”, tentu saja akan
tahu sejarah kebangkitan nasional dan kedaulatan alam yang pernah
terjadi pada masa lampau.
Dari kesaksian beberapa tetua di Daerah Aliran Sungai Seruyan,
termasuk Danau Sembuluh, pada masa peralihan kolonialisme
Belanda ke Jepang, hanya Bangkal yang tidak diberikan gelar
‘distrikcode’ seperti yang terjadi di Hanau maupun Telaga Pulang.
Selain itu, pada masa penjajahan Jepang itu pula, Kabupaten Seruyan
saat itu mengalami krisis pangan, sehingga membuat orang- orang
di kabupaten eksodus ke beberapa aliran sungai, seperti Pukun dan
Kelua untuk bertahan hidup. Tidak terkecuali, orang-orang Sembuluh.
Kesaksian lainnya ialah bahwa peran orang Bangkal pada masa itu
mengajarkan kepada orang-orang DAS Seruyan tentang bagaimana
cara berladang. Artinya, berangkat dari kesaksian ini saja, sudah dapat
membantah bagaimana framing media arus-utama dan banyak orang
dalam melihat Bangkal. Dan, semestinya, ini menjadi titik balik kita
untuk berjuang terus menerus tanpa henti untuk mempertahankan
wilayah adat dan mengusir korporasi dari tanah leluhur yang dititipkan
kepada kita.
Meski demikian pada akhirnya, tampaknya, semua awam akan
bersepakat pada komodifikasi teks terkait kelapa sawit, yaitu dari
“perkebunan” menjadi “pertanian” yang menyumbang 33,72 persen
devisa negara. Artinya, bagaimanapun kondisinya, negara akan tetap
mendukung dan melindungi kejahatan-kejahatan eksploitatif yang
lancarkan para taipan-taipan kelapa sawit tanpa memikirkan dampak-
dampak kritis yang sudah atau akan terjadi.
Mengapa kelapa sawit dikatakan sebagai “pertanian”?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu saja, sangat mudah. Itu
hanya tentang politisasi-teks untuk membangun opini publik: sebuah
opini publik yang mencoba mengaburkan persoalan-persoalan yang
terjadi apabila menggunakan istilah “perkebunan”. Dan, ironisnya,
upaya komodifikasi teks itu tentu saja berhasil.
Dalam kasus pembunuhan Gijik pada 07 Oktober 2023, banyak
orang (banyak, tidak semua) justru terjebak dalam persoalan “polisi
yang dibayar dan diperintahkan” oleh PT. HMBP untuk menembak
sebagai jantung atau akar persoalan yang terjadi di Bangkal. Ada juga
yang dengan serampangan mengerucutkan, bahwasanya ini adalah
persoalan HAM.
Saya tidak bersepakat. Karena, keterjebakan dan upaya pengerucutkan
masalah Bangkal, tentu saja, menghilangkan akar persoalan
yang selama hampir dua dekade ini, yaitu kegiatan manusia yang
menggunakan kapital untuk mengeksploitasi bumi dan orang Bangkal.
Meskipun saya tidak sepenuhnya mendukung perspektif-perspektif
orientalis, tetapi ada hal-hal yang harus dirubah dalam konteks kasus
ini. Seperti, melihat kembali akar permasalahan yang terjadi dan apa
sebenarnya yang menjadi tujuan perjuangan orang Bangkal.
Apakah harus mengungkap siapa pembunuh Gijik? Kemudian
menerima tawaran “ekonomi produktif” yang justru melecehkan orang
Bangkal itu sendiri? Atau, menerima money-laundry yang ditawarkan
PT HMBP melalui skema plasma?
Mari kita bedah satu per satu.
Katakanlah, pembunuh Gijik tertangkap kemudian dihukum. Tentu
saja, tidak membuat PT HMBP angkat kaki dari Bangkal. Kemudian,
jika masyarakat pun pada akhirnya menerima “ekonomi produktif”,
seperti berternak sapi, bukankah tidak ada jaminan yang diberikan
pemerintah kepada masyarakat terkait realisasi itu.
Itu hanya semacam upaya untuk meredam gerakan perlawanan
masyarakat. Lalu, skema plasma. Mari berpikir jernih. Dari pemerintah di
bidang perizinan, mengungkap bahwa status kawasan 37 perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seruyan, semuanya Hutan
Produksi (HP).
Tujuan mereka menggunakan skema plasma dengan pola kemitraan
hanyalah cara untuk melepaskan status kawasan belaka. Artinya,
pekerjaan pendampingan dan perlawanan masyarakat Bangkal hanya
akan menguntungkan pihak perusahaan.
Maksud saya, perlu kiranya bagian-bagian dari kita yang membersamai
Bangkal ini melihat kembali, membahas kembali, memahami kembali,
dan merumuskan kembali terkait masalah ini; harap-harap persoalan
ini dapat diselesaikan, meski dengan kemungkinan menang yang
kecil.
Bila kemenangan itu terjadi, maka Bangkal akan menjadi titik balik
perlawanan sebagian minoritas masyarakat Kabupaten Seruyan untuk
mempertahankan dan mengusir perampas tanah yang dititipkan
kepada mereka.
Rumah AMAN Palangka Raya, Maret 2024.
Dari Pesisir Utara Jawa
Kepada Seruyan: Catatan Singkat
“Kendayu Usai Badai”
Oleh Sentris
Peristiwa pecahnya konflik antara masyarakat Desa Bangkal dengan
PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) Pada 7 Oktober
2023 silam, membawa duka tersendiri bagi warga Bangkal dan
semua warga Indonesia yang memiliki hati dan nurani. Pasalnya, salah
seorang pemuda bangkal bernama Gijik yang mengikuti aksi, tewas
oleh peluru Polisi. Peluru yang tentu saja dibeli dengan pajak rakyat,
pajak yang diberikan Gijik, keluarganya, hingga warga Bangkal
kepada Negara.
Kepada Seruyan: Catatan Singkat
“Kendayu Usai Badai”
Oleh Sentris
Peristiwa pecahnya konflik antara masyarakat Desa Bangkal dengan
PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) Pada 7 Oktober
2023 silam, membawa duka tersendiri bagi warga Bangkal dan
semua warga Indonesia yang memiliki hati dan nurani. Pasalnya, salah
seorang pemuda bangkal bernama Gijik yang mengikuti aksi, tewas
oleh peluru Polisi. Peluru yang tentu saja dibeli dengan pajak rakyat,
pajak yang diberikan Gijik, keluarganya, hingga warga Bangkal
kepada Negara.
Pasca pecahnya konflik, banyak beredar video yang memperlihatkan
bagaimana masa direpresi oleh aparatur negara melalui media sosial
seperti X dan Instagram. Riuh dan seruan instruksi menembakan gas
air mata, entah dari komandan atau siapalah itu jelas membuat kami
tidak dapat beri-istigfar, dan yang lebih mengerikan adalah ketika
terdengar instruksi melalui pengeras suara untuk membidik kepala.
“bidik kepalanya, bidik!. Pertanyaan kami adalah “kepala siapa yang
hendak mereka bidik?”, kami meyakini bahwa instruksi tersebut
diarahkan kepada peserta aksi. Jika mereka hendak mengarahkan
senjata kepada kepala warga yang menuntut atas Hak nya, maka
itu perintah yang sangat mengerikan. Tak ubahnya mereka sebagai
“centeng” yang dapat dikerahkan untuk kepentingan apapun,
khusunya kepentingan penguasa.
Kami yakin, diberbagai sudut ruang dari penjuru Sabang hingga
Merauke, baik individu maupun kelompok akan tergerak hatinya
untuk ikut bersimpati terhadap konflik masyarakat Bangkal dan Alm
Gijik. Sebagian ada yang turun ke jalan, membuat tagar dimedia
sosial dengan harapan kasus ini tidak lenyap dan pelakunya dapat
diadili, hingga bentuk bentuk lain seperti poster, dan apapun itu untuk
sekedar menaruh rasa hormat terhadap para martir yang menjadi
simbol perlawanan atas bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Kami harus berterimakasih kepada Alam dan Shera yang telah
mengenalkan kami dengan Muhammad Yasir, seorang warga Bangkal
yang tentu saja mengenal betul seluk beluk konflik yang terjadi.
Melalui mereka berdua, kami (Jouska dan Thinktrack) bersepakat
untuk merilis single anyar bertajuk “Kendayu Usai Badai”, dengan
membentuk ulang Bars After Thunderstorm sebagai moteker anyar.
Proses penggarapan single ini tidak berlangsung lama, usai Alam
mengkonfrimasi Twnty8c untuk membuat instrumen yang diperlukan,
malam itu pula “draft” untuk single ini rampung digarap. Selanjutnya,
Sentris mengisi 16 Bar pada verse pertama sebelum dilanjutkan oleh
puisi Muhammad Yasir bertajuk “Cinta”. Kami merekam lagu ini di
Jouska Record sehari sebelum Alam berangkat ke Papua.
Sejujurnya, Kami mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh
masyarakat Bangkal, meskipun kami tidak berada langsung dilokasi.
Melalui beragam catatan redaksi ihwal konflik Seruyan hingga sajak
rapalan Yasir (yang entah bagaimana) beragam alternatif proses kreatif
itu muncul setelahnya, mulai dari nada-nada gumam, menambahkan
petikan gitar blues oleh Faiz hingga gesutan scracth oleh DJ Dellen.
Semua proses tersebut berjalan sangat cepat.
Beberapa istilah dan kosakata yang harus kami galih seperti
“Kendayu”, “Indu”, “Danum” hingga “Khinzir” dengan harapan dapat
menyamakan frekwensi dari sajak milik Yasir yang jelas tak mampu
kami samai. Sajak bertajuk “Cinta” yang dalam, biru, dan padat. Sajak
Yasir yang tak berani kami memenggalnya. Semula, single ini ditulis
dengan judul “Kendayu Seruyan”, belakangan kami mengubahnya
menjadi “Kendayu Usai Badai” karena respon yang kami ungkapkan
berawal dari stimulus konflik yang terjadi. “Kendayu Usai Badai”
memiliki durasi yang panjang sekitar 4 menit lebih, menghadirkan
realitas, kasih, serta amarah melalui sajak “Cinta” yang magis, merapal
diatas Instrumental besutan Twnty8c.
Apa yang kami hadirkan, mungkin tidak langsung berdampak dalam
banyak hal. Setidaknya, melalui rilisan ini kami berupaya menunjukan
keberpihakan kami serta mengikhtiarkan apapun untuk menunjukan
itu. Melalui catatan ini, kami kirimkan do’a kepada segenap Warga
Bangkal dan Alm. Gijik yang wafat dalam perjuangan mereka. kami
kirimkan do’a kepada para martir yang menjadi simbol perjuangan
atas segala bentuk penindasan dan ketidakadilan korporasi hingga
Negara. Semoga kemenangan sejati menjadi milik mereka.
Cirebon, 17 Juli 2024
“Kendayu Usai Badai”
Puisi “Cinta” ditulis oleh Muhammad Yasir
Lirik ditulis oleh Sentris
Musik diproduseri oleh Twnty8c
Scracth oleh DJ Dellen
Gitar oleh Faiz
Mixing dan Mastering oleh Twnty8c
(Rap Verse)
Menggelapnya luas langit, mengutuki jahanam
rupa para bajing bangsat datang, diam dan tikam!
taruh bara dalam sekam, hangus harap, lahir dendam
pada tubuh remuk redam, tembus dada, lepas kasam
merdu Indu lantun syair, kendayu selipkan dzikir
hadir tiap alam fikir, hantam tamak juga kikir
persetan hari lahir, empat lima harga grosir
sejak tanah moyang kami dipalang popor dan bedil
Kami hitung tiap martir, teguh hadang badai petir
setegap jaga danum, pasir, enggang gading dan khinzir
tumpah merah darah, diatas tanah berubah duka
kepal langit ke angkasa, bakar cinta lewat plasma!
direpresi senjata, dari tiga kompi moron dan
sepanjang hajat cukong dibekingi para komandan
kami bawa kombatan, serikat kepal ujung utara dan
bakar perang puputan, yang keras kami menangkan!
(Yasir Poems Verse)
Cinta!
Cinta adalah hutan rimba raya pulau Kalimantan
yang dibabat habis demi perkebunan kelapa sawit
dan tambang batubara.
Cinta adalah Sungai Utik, Kapuas, Barito, Mahakam,
dan danau-danau yang tercemar limbah mercury.
Cinta adalah Kinipan, Tangar, Patai, Cempaga, Kenyah, Pangkan,
dan desa-desa yang hancur lembur, dikubur seorang Godfather
dari tengah.
Cinta adalah sepasang Enggang Gading, berkelahi dengan Garuda,
demi menjadi simbol negeri ini.
Cinta adalah ritual upacara puja puji pada leluhur yang resah, yang
mabuk, disejengkal tanah Sorga para kapitalis monopolistik.
Cinta adalah cerobong baja, berasap bijak,
yang menggantikan masjid, gereja, wihara,
dan pure orang-orang pedalaman yang menyedihkan.
Cinta adalah kota-kota di Kalimantan yang diselimuti asap tebal,
setebal alis presiden fasis raja Jawa
dan para taipan tanah Cheng Ho.
Cinta adalah Kinipan, Tangar, Patai, Cempaga, Kenyah, Pangkan,
dan desa-desa yang hancur lembur, dikubur seorang Godfather
yang asik menghisap ganja Asia.
Cinta adalah nyawa yang dicabut bukan oleh malaikat, bukan oleh
Tuhan, tapi oleh Polisi anjing-anjing pasca kolonialis.
Cinta adalah kerling nama kematian Gijik, dan masyarakat adat
Dayak yang menjadi semacam gigi emas, kepercayaan Crazy Rich
Surabaya, pemilik PT. Hamparan Masawit Bangun Persada.
Sekali lagi kami tegaskan!
Cinta adalah hutan rimba raya pulau Kalimantan
yang dibabat habis demi perkebunan kelapa sawit
dan tambang batubara.
“...untuk Gijik”
Entah berapa kali lonceng gereja yang berjarak dua ratus kaki dari
toko buku kami itu berbunyi dalam sejam. Setiap pagi, siang, dan
sore dari beranda rumah atau ruang kerjaku di dalam toko, bunyinya
terdengar begitu jelas dan setiap bunyi memiliki nada dan pesan
yang berbeda-beda yang sukar kuterka. Pada hari kematian nenek
dan bibi, bunyinya seperti mengatakan: “Kau adalah kesedihan dan
pesakitan. Jalanmu akan panjang, hingga berujung penyerahan
diri!” Tiba-tiba, aku merasakan kata-kata ini berubah menjadi seekor
macan kumbang yang lapar, berdiri di balik pintu toko menatap
gerak-gerikku dengan seksama sembari menunggu kelengahanku
sebagai manusia, sebagai penulis yang malang. Ketika aku
mengalihkan pandangku dari macan kumbang itu, kemalangan
membawaku kepada Nicolai Gogol, Leo Tolstoy, Eduardo Galeano
hingga Isaaq Bashevis Singer. Aku membaca setiap cerita pendek
yang mereka tulis dengan gaya, karakter, dan kritik yang berbeda
pola. Aku tidak menemukan diriku seutuhnya di sana, tetapi ada
secercah cahaya semangat hidup sebagai penulis, bahwa tidak ada
yang bisa kuceritakan kepadamu selain kesedihan dan pesakitan.
Kesedihan dan pesakitan, bukanlah kata sifat belaka. Kata-kata ini
adalah kata kerja yang politis, baik sebagai kata, diri sendiri, dan
karya-karya yang kutulis.
Sejak awal aku ditempa sebagai penulis, tidak sekali pun aku
diajarkan untuk menganggap remeh-temeh perihal mengolah
inspirasi (kenyataan), mengendapkannya, kemudian menuliskannya
menjadi cerita. Pada tahun 2014, orang-orang berpengaruh dalam
proses kreatifku membawaku ke dataran pesisir, Urutsewu, yang tidak
segersang kehidupan orang-orang urban yang dimiskinkan. Selama
seminggu berada di sana, aku seperti dilahirkan kembali, dibebaskan
dari zaman kebodohan, ketidaksadaran, dan hal-hal menyedihkan
lainnya tentang realitas dan bagaimana realitas itu dibentuk. Namun,
beberapa orang petani, terlebih dahulu mati di hadapan moncong
senjata serdadu Diponegoro, ketika aku baru mengenal Sastra dan
bagaimana menulis Sastra. Para petani yang masih hidup, bertahan
dan melawan dengan sangat jeli dan penuh perhitungan. Bagaimana
pun, sebiji Pepaya California lebih mulia daripada satu peluru
serdadu yang menembus kepala seorang petani. Karena mendengar
adanya anggapan ini, para Serdadu Diponegoro semakin membabi
buta; mereka menghancurkan tanaman, mengancam keselamatan
orang-orang yang datang untuk tugas keadilan, dan para petinggi
yang mencoba membelot mendukung perlawanan para petani.
Pertanyaannya, bagaimana aku akan menuliskan realitas demikian
ini dengan mengada-ada?
Dalam penempaanku, aku telah diajarkan bagaimana menjadikan
realitas sebagai tolak dasar tulisan – kelak, menjadi karya. Hal
pertama yang dilarang adalah melebih-lebihkan dan menggawat-
gawatkan. Kedua hal ini dianggap haram dalam proses kreatifku.
Melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan, bagi para penempa,
merupakan kejahatan seorang penulis yang tidak pernah menuai
kritik dan bahkan mendapatkan pujian sebagai suatu kemampuan
yang “melampaui” batas kemampuan lainnya. Tidak bisa dipungkir,
Leo Tolstoy adalah seorang kaya-raya yang derma. Dia mencintai
petani dan kemudian membelikan lahan kosong untuk para petani
yang dicintainya. Akan tetapi, kaya-raya dan cinta terhadap petani saja
tidak menjamin kebahagiaan keluarganya. Istrinya, yang juga kaya-
raya, menolak untuk mewariskan hartanya ke lembaga pendidikan
yang didirikan Leo, sehingga itu membuat perasaannya berkecamuk
dan kemudian membawanya ke sebuah stasiun kereta dan di sana,
tiga hari kemudian, dia meninggal dunia. Leo Tolstoy tidak melebih-
lebihkan atau menggawat-gawatkan sikap derma dan kecintaannya
terhadap petani dan juga perlakuan istrinya kepadanya. Dia memilih
pergi dalam kesendirian, kemudian mati dalam kesendirian itu pula!
Jadi, ketika seseorang bertanya bagaimana proses kreatifku yang
tidak lebih tua dari sebatang pohon ulin yang ditebang untuk rumah
terbaru Tuan Gubernur, maka kujawab: “Bacalah karyaku, itulah
proses kreatifku! Bagaimana aku menceritakan kepada engkau
tentang Pulau Kalimantan yang telah merenggut segalanya dariku;
cintaku, kasih-sayangku, hari-hariku, airmataku, dan seterusnya...
bagaimana? Bagaimana aku menceritakan kepadamu bahwa dunia
baru, dunia baja, telah dipaksakan kepada kehidupan kami dan itu
kemudian menjadi dunia kami! Bagaimana aku akan menceritakan
kepadamu tentang suatu bangsa yang memiliki dunia baru yang telah
mencerabut, merusak, dan menghancurkan semua yang diwariskan
kepada kami? Mungkin, aku dapat menceritakan kepadamu bahwa
itu luka yang tidak bisa kami rasakan lagi, karena sudah begitu
sering kami dilukai. Atau... bahwa itu telah menjadi tapak kaki di tepi
sungai, di tepi danau, yang mengering di musim hijan dan hilang
tersapu ombak biru laut Eropa! Tapi, kuyakinkan, engkau tidak akan
puas dengan jawaban ini. Maka, kita perlu mabuk beberapa botol
Tuak untuk ini!”
Dalam “Overcoat”, Nicolai Gogol menulis “Petani-Petani Ketinggalan
Zaman”. Mula-mula, aku menduga bahwa Gogol hendak merombak
cap yang disematkan kepada kaum petani; ketinggalan zaman,
usang, melelahkan, norak, dan seterusnya. Itu kesalahan! Kemahiran
Gogol dalam memilih inspirasi bagi cerita pendek ini, tidak bisa
diremehkan dan diterka. Ketika aku mulai melakukan pembacaan
untuk cerita ini, semua upaya terka-menerkaku, hancur. Semua adalah
tentang kritik terhadap semangat zaman di mana kebanyakan orang
Russia tunduk terhadap Tsar (di Indonesia, “Sultan”) yang berkuasa
pada zamannya. Gogol ingin memberikan semangat melalui pesan:
bahwa semestinya Tsar-lah yang harus menghormati kalian, Kaum
Petani! Karena perutnya, kekayaannya, sedikit-banyak berasal dari
kalian! Sampai di sini, aku terkenang Yuk Sukinah, seorang petani dari
Pegunungan Kendeng, Rembang, yang pernah kutemui dua tahun
setelah aku di Urutsewu. Yuk Sukinah tidak seperti Isaaq Bashevis
Singer yang hidup dalam pelarian sebagai Yahudi. Dia lembut,
cerdas, dan pemberani. Dia mampu berjalan kaki, tanpa alas kaki,
tanpa kereta, apalagi pesawat, sejauh seratus kilometer Rembang-
Semarang untuk menemui Tuan Gubernur dengan harapan sebagai
sesama Jawa, mereka sama-sama memahami konsep hidup,
Ibumi. Akan tetapi, tidak semua Jawa paham ini. Di antara mereka,
seperti Tuan Gubernur, lebih menyukai konsep kapitalisme untuk
membuatnya sebagai seorang yang terhormat dan disegani.
Yuk Sukinah, tidak ketinggalan zaman. Di rumahnya, dia mengatakan
kepadaku tentang keprihatinannya terhadap Pulau Kalimantan –
yang sekali pun belum pernah dia menginjakan kakinya di sana –
yang dia lihat hanya melalui televisi, berita, dan kesaksian para aktivis
lingkungan. Dia mendekat ke telingaku, menciumku, kemudian
berbisik: “Jika Kalimantan hancur, Jawa hancur, kematian jualah yang
akan tiba, Mas!” Jadi, menurutmu, apakah kematian itu merupakan
sesuatu yang bukan kesedihan atau pesakitan? Atau, engkau akan
mengatakan itu takdir? Benarlah itu takdir, karena semua yang hidup
akan mati. Akan tetapi, bagaimana jalan kematian itu yang perlu
diceritakan atau ditulis! Sekarang, jika seorang petani di Urutsewu
ditembak oleh Serdadu Diponegoro, petani di Rembang dilecehkan
Tuan Gubernur, adakah kesenangan yang engkau rasakan seperti
dalam novel absurd “The Stranger” Albert Camus?! Oh! Ketika
membaca itu, aku hanya merasakan mual dan mulas, tetapi tidak
bisa muntah atau berak! Karena, bagiku, tidak ada kesenangan dan
kebahagiaan dalam kesedihan dan pesakitan. Terserah denganmu!
Sejak dua tahun ini, akal sehat dan nuraniku sabagai seorang penulis
sungguh sukar menerima kematian demi kematian yang tiba kepada
orang-orang di negeri magis ini. Di gang ini saja, dalam sehari
pada bulan lalu, sebelas sampai dua belas orang mati. Meskipun,
dokter dan tenaga kesehatan berdalil dan berdalih tentang
Coronavirus Disease (Covid-19) ini, morilku menolak menerima. Aku
menganggap bahwa virus ini adalah Covidtalisme, di mana manusia,
modal, banalitas intelektual, teror psikis, perubahan kapitalisme
tanah menjadi kapitalisme farmasi campur aduk seperti perasaan
Pramoedya Ananta Toer dalam cerita pendek “Gado-Gado”-nya
(baca Mereka Yang Dilumpuhkan). Pula Covidtalisme membuatku
semakin menggeliat untuk meluaskan “menulislah dengan tidak
melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan” dan meninggikan
“daftar musuh idelogisku sebagai penulis”. Untuk ini, tidak ada
kesenangan dan kebahagiaan menjadi inspirasi tulisanku. Hanya
kesedihan dan kematian, tidak lain-tidak bukan. Aku akan menulis
sampai tulisanku menjadi kain kafan bagi tubuh yang kurus, jelek,
dan menyedihkan ini.
Surabaya, 6 Agustus 2021
diambil dari “Kertas-kertas Kesunyian”
Sepilihan Esei Kesaksian


Post a Comment for "Bangkal Sebagai Titik Balik: Catatan Antroposen Singkat"